Ukuran
nafkah minimal antara seorang suami dengan suami yang lainnya sangat
mungkin berbeda-beda. Intinya, ukuran nafkah minimal adalah sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Mengenai kewajiban memberikan nafkah
sesuai dengan kemampuan suami, Allah Ta’ala berfirman, “Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Thalaaq [65]: 7).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi penjelasan:
“Engkau
memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau
berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan
engkau jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah (tidak boleh
memindahkan istrinya ke tempat lain, kemudian mendiamkannya di tempat
tersebut).”[1]
Sesuai
dengan kemampuan suami, maksudnya adalah suami diwajibkan memberikan
nafkah kepada istrinya sesuai dengan kelapangan rezeki yang Allah
berikan kepadanya. Ukuran kemampuan itu bukanlah ukuran asal-asalan dalam
mencari nafkah, melainkan merupakan hasil yang paling maksimal dari
usahanya yang maksimal pula. Sejauh mana kemampuan yang bisa diusahakan,
sejauh itulah kewajibannya memberikan nafkah.
Sesuai dnegan kemampuan bukan berarti mengizinkan para suami untuk bersikap malas,
tetapi justru menekankan agar suami bekerja dengan kemampuan terbaiknya.
Dengan usaha yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan terbaiknya, suami
akan mampu memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya, bahkan dapat pula
mengalokasikan kelebihan rezekinya untuk ibadah lainnya, seperti
shadaqah, membayar zakat, menunaikan haji dan sebagainya.
Jika
dilihat berdasarkan kebutuhan fisik, setidaknya ada tiga hal umum yang
wajib diupayakan oleh seorang suami. Ketiga kebutuhan itu adalah pangan,
sandang dan papan. Menurut ukuran lahiriah, manusia tidak akan dapat
hidup tanpa makan dan minum atau setidaknya tidak mampu beraktivitas dan
beribadah dengan baik jika manusia mengalami kelaparan. Menurut ukuran
agama, sosial, kesehatan dan norma-norma yang lain, manusia tidak
mungkin hidup tanpa pakaian, sehingga wajib baginya berpakaian setiap
hari. Adapun untuk kebutuhan perlindungan dari panas dan hujan, serta
untuk ketenangan, kenyamanan dan kehangatan, manusia memiliki tempat
berlindung yang disebut rumah. Karena itu, ketiganya merupakan kebutuhan
dasar yang harus diupayakan oleh suami sesuai dengan kemampuannya
semaksimal mungkin.
Memang
bila dijabarkan mungkin lebih banyak lagi kadar minimal sebuah nafkah
yang perlu diupayakan oleh seorang suami. Tidak hanya kebutuhan akan
pangan, sandang, dan papan, melainkan juga kebutuhan untuk kesehatan,
pendidikan dan sebagainya. Kadar nafkah yang paling ideal memang yang
cukup. Namun, ketentuan cukup sangat bervariasi dan bersifat relatif.
Memang
bila dijabarkan mungkin lebih banyak lagi kadar minimal sebuah nafkah
yang perlu diupayakan oleh seorang suami. Tidak hanya kebutuhan akan
pangan, sandang dan papan, melainkan juga kebutuhan untuk kesehatan,
pendidikan dan sebagainya. Kadar nafkah yang paling ideal memang yang
cukup. Namun, ketentuan cukup sangat bervariasi dan bersifat relatif.
Islam
tidak mengajarkan untuk memberatkan para suami dalam mengupayakan
nafkah keluarga. Islam juga tidak menghendaki anggota keluarga untuk
gemar menuntut. Kadar nafkah yang cukup itu bukan ditentukan oleh istri
dan anak-anak, melainkan dari suami yang memberikan nafkah. Kecukupan
disesuaikan dengan kemampuan dan kesungguhan suami dalam menafkahi
keluarga. Adapun kemampuan dan kesungguhan akan dinilai dari seberapa
maksimal usaha suami dalam mengupayakan nafkah bagi keluarganya.
Islam
tidaklah menuntut besar kecilnya penghasilan atau rezeki yang didapat
seseorang, akan tetapi yang dituntut darinya hanyalah berusaha
semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan rezekinya itu, sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhari dari Az-Zubair bin Al-‘Awam dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh seorang dari kalian yang
mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan
punggungnya, kemudian dia menjualnya, lalu Allah mencukupkannya dengan
kayu itu, lebih baik bagiinya daripada dia meminta-minta kepada manusia,
baik manusia itu memberi atau menolaknya.” [Syahida.com]
Sumber : Kitab 24 Jam Amalan Agar Istri Making Sayang, Asadullah Al Faruq
0 komentar:
Posting Komentar